Lingkungan
Telah Terungkap Bahwa Ada Juga Hak Guna Bangunan (HGB) untuk Laut Surabaya-Sidoarjo
Ongkos dan dampak dari hak guna bangunan di Laut Surabaya-Sidoarjo menimbulkan pertanyaan besar tentang kelestarian lingkungan dan hak masyarakat lokal.

Kami telah menemukan bahwa Hak Guna Bangunan (HGB) telah dialokasikan untuk area yang signifikan di Laut Surabaya-Sidoarjo, menimbulkan masalah hukum dan regulasi yang serius. Penetapan ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang melindungi perairan nelayan lokal dan tidak sejalan dengan regulasi regional yang bertujuan untuk melestarikan ekosistem laut. Anggota komunitas menyatakan kekhawatiran tentang bagaimana klaim HGB mengancam mata pencaharian dan hak tradisional mereka. Selain itu, potensi untuk pengembangan yang tidak teratur dapat membahayakan lingkungan pesisir yang vital. Saat kami menavigasi kompleksitas ini, masih banyak lagi yang harus diungkap tentang implikasi dan arah masa depan dari situasi ini.
Penemuan HGB di Perairan Pesisir
Ketika kita menelusuri penemuan Hak Guna Bangunan (HGB) di laut Surabaya-Sidoarjo, kita menemukan area signifikan seluas 656 hektar yang ditandai oleh koordinat yang menempatkannya dekat Eco Wisata Mangrove Gunung Anyar.
Penemuan ini, yang dikaitkan dengan ekonom Thanthowy Syamsuddin dari Universitas Airlangga, menekankan pentingnya HGB dalam pengembangan pesisir.
Sertifikat HGB, yang dikeluarkan pada tahun 1990-an kepada PT Surya Inti Permata dan PT Semeru Cemerlang, akan berakhir pada tahun 2026, menimbulkan pertanyaan tentang dampak jangka panjangnya.
Selain itu, keberadaan HGB dalam zona maritim bertentangan dengan hukum yang ada, menciptakan skenario kompleks untuk hak penggunaan tanah di area pesisir.
Penyelidikan pemerintah bertujuan untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan pesisir, menyoroti kebutuhan kritis akan kejelasan dan akuntabilitas.
Implikasi Hukum dan Regulasi
Penemuan terbaru Hak Guna Bangunan (HGB) di laut Surabaya-Sidoarjo menimbulkan kekhawatiran hukum dan regulasi yang signifikan yang memerlukan perhatian kita.
Situasi ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 85/PUU-XI/2013 dan Peraturan Daerah Jawa Timur No. 10 tahun 2023, yang melindungi perairan tersebut untuk kegiatan perikanan.
Pernyataan Menteri Sakti Wahyu Trenggono bahwa sertifikat tidak dapat secara legal ada di atas badan air semakin memperumit masalah, menyoroti potensi dampak hukum dari 656 hektar yang ditetapkan sebagai kolam ikan.
Kita harus memprioritaskan verifikasi mendesak dari sertifikat-sertifikat HGB ini untuk memastikan kepatuhan regulasi terhadap hukum penggunaan tanah.
Penyelidikan yang sedang berlangsung oleh Polda Jatim akan membantu mengklarifikasi keabsahan proses penerbitan dan mengatasi potensi pelanggaran, melindungi ekosistem pesisir kita dan penggunaan sumber daya kelautan yang sah.
Reaksi Komunitas dan Kekhawatiran Lingkungan
Sementara kekhawatiran tentang Hak Guna Bangunan (HGB) di Gunung Laut Surabaya-Sidoarjo meningkat, komunitas lokal semakin vokal tentang dampak potensial terhadap mata pencaharian mereka dan lingkungan.
Kami khawatir klaim HGB dapat mengancam hak memancing kami, membatasi praktik tradisional kami dan membahayakan pendapatan kami.
Selain itu, kami menyadari bahwa pembangunan yang tidak teratur dapat berdampak serius terhadap ekosistem pesisir, khususnya mangrove vital yang melindungi pantai kami.
Kurangnya transparansi mengenai kepemilikan HGB hanya meningkatkan kecemasan kami, karena aplikasi Bhumi gagal menyediakan informasi yang memadai.
Kami percaya dialog inklusif dengan para pemangku kepentingan sangat penting untuk memastikan hak kami dan kekhawatiran lingkungan diprioritaskan dalam keputusan pengelolaan pesisir, mendorong keseimbangan antara pembangunan dan konservasi pesisir.